Oleh: Muhammad Dwiansyah Damanik, FKIP Universitas Pakuan.
Foto : Istimewa
Sang maha kuasa menciptakan makhluk yang dijadikanya
penghuni di bumi dan menjadikanya pempimpin diantara makhluk lainya, yang biasa
kita sebut sebagai “Insan Manusia”. Manusia ditebar diberbagai belahan bumi
yang menjadikanya bermacam-macam ras, suku, bangsa dan agama. Keberagaman yang
tercipta menjadikan dua hal yaitu polarisasi dan kompetisi, dalam hal ini akan
mengakibatkan kepada kedamaian dan atau peperangan. Polarisasi adalah satu
konsep masyarakat yang beragam atau bhineka tanpa memandang perbedaan dan
menganggap satu kesatuan adalah hal yang harus dijaga agar bisa mencapai
kehidupan yang madani. Konsepsi ini jelaslah memiliki satu hal yang perlu
dipegang erat oleh masyarakat yang menghuni satu Negara tersebut seperti Indonesia,
hal tersebut adalah toleransi dalam berkehidupan didalam masyarakat dan
berNegara. Tentu saja dalam hidup ini perlu daya saing atau kompetisi untuk
menjadikan daya hidup yang lebih bergairah, hanya saja jika salah dalam
mengartikan konsep kompetisi akan berakibat kedalam peperangan, maka diperlukan
sekali pemahaman kesederajatan manusia atau mengenai hak-hak fitrah manusia.
Indonesia adalah Negeri kaya raya akan sumber daya
alamnya serta beragam bangsanya. Tujuh belas ribu pulau yang menghampar
didalamnya, beribu bahasa daerahnya serta beragam budayanya yang menyatu dalam
persatuan kebangsaan dengan sumpah yang dibawa oleh para pemuda pada saat sebelum
kemerdekaan diraihnya. Tahun 1928, tepatnya pada 28 Oktober tercetus sumpah
yang menjadi semangat kebangsaan atas sama penasiban dan merasa perlu bersatu
untuk menghimpun kekuatan yang menyatakan tanah air, berbangsa, dan menjungjung
bahasa persatuan yaitu INDONESIA.
72 tahun berdiri sejak tahun 1945 banyak cobaan yang
dijalaninya beragam kejadian mulai dari pemberontakan ingin mengambil
kekuasaan, memisahkan diri dari kenegaraan Indonesia. Pemberontakan-pemberontakan
yang terjadi mampu didamaikan oleh manusia-manusia luhur di Negeri ini dengan
membawa cinta dan wibawa menjadikan damai dan suka cita. Seiring berjalanya
waktu kekayaan sumber daya alam yang melimpah menjadikan Negeri ini sebagai
rebutan elit global dan keserakahan anak Negeri yang mengeruk serta menjual
sana-sini, bukan menjadikan alam untuk kesejahteraan atau pencapaian cita-cita
bangsanya sendiri, kini malah menjadi kesejahteraan untuk bangsa lain. Mungkin
lantaran Indonesia adalah tanah surga yang melahirkan manusia-manusia yang
terbiasa dengan kekayaan alam, menjadikan pribadi seorang manusia Indonesia
lupa haruslah mampu dalam mengolah karunia Tuhan agar tidak menjadi salah
sasaran. Realitas kehidupan masa kini di Negeri Indonesia emas di Papua untuk
siapa? Minyak, batubara, mineral kemana?. Menjadi sebuah renungan tentunya. Teringat
pesan Ir. Soekarno “Biarlah kekayaan alam
kita tersimpan sampai nanti putra-putra bangsa ini mampu mengolahnya sendiri”.
Kalimat yang dilontarkan oleh Bapak Proklamasi Indonesia amat mendalam, jika
dimaknai melihat keadaan sumber daya manusia yang kala itu memang belum merata
secara pendidikan dan masih banyak manusia-manusia Indonesia yang berada digaris
kemiskinan dan kebodohan, maka ia lebih memilih alam Indonesia tersimpan
daripada diolah tapi hanya untuk bangsa lain yang sejahtera melalui investasi
asing kedalam Negeri Indonesia memang seperti terbantu lantaran mendapatkan
dana. akantapi bantuan yang semu yang akan diterima seperti itulah pengibaratan
investasi asing yang telah menggurita kini di Indonesia. Contohnya adalah Freeport, emas yang digali di Gunung Estberg
apakah mampu menjadikan Indonesia sejahtera?. Jelas tidak karena bukan Negeri
ini sendiri pemiliknya, sehingga tetap diusia ke 72 tahun Indonesia selepas
kepemimpinan Ir. Soekarno Indonesia berhutang kepada luar negeri, kini hutang Indonesia
terhadap luar Negeri telah mencapai Rp. 4.365 triliun yang dilansir oleh
Merdeka.com perApril 2017. Beban bagi kita setiap warga negera Indonesia apakah
mau nasib seperti Yunani yang bangkrut akibat hutang.
Keadaan ini diakibatkan oleh pendidikan nasional
yang jelas telah menyimpang dari tujuan dengan pelaksanaan, mengapa bisa
menjadi pendidikan yang bermasalah, karena tumpuan atau tiang-tiang kemajuan
berada dari pada sektor pendidikan yang utama. Karena dari pendidikan akan
melahirkan generasi yang cerdas baik secara akal maupun budinya. Memang hingga
kini jika dilihat-lihat pembangunan SDM dari dunia pendidikan seperti dinomor
duakan dari hal-hal yang berbau fisik seperti kota bogor yang terlihat banyak
sekali taman-taman yang dibuat tapi relalitas yang terjadi apakah pemanfaatan
taman tersebut oleh warga bogor jika lain untuk tempat berkumpul kaula muda,
tapi apakah lebih banyak manfaat atau modarat yang terjadi. Lebih banyak orang berpacaran,
nongkrong sambil ngopi dan merokko atau menjadikan tempat diskusi dan baca buku
sehingga menjadi wadah pencerdasan, Masuk kedalam permaslahan
kebijakan-kebijakan pendidikan formal yang tidak jelas di era kepemimpinan Presiden
Jokowi yang saling lempar dan salahkan, seperti full day school serta kurikulum yang ada. Padahal jika kita lihat
ditataran pendidik yang menjadi faktor adalah banyak pendidik yang tidak
sejahtera, bayangkan saja guru honorer dibayar paling kecil adalah Rp. 300.000
dan beragam tergantung kesanggupan dari satuan pendidikan, tapi tidak akan
lewat dari UMR yang ada sepertinya. Belum lagi mengenai admnistrasi yang harus
dikerjakan sehingga konsentrasi untuk mengajar mulai terbagi untuk
menyelesaikan urusan perut dan keluarga dan hal yang lebih lucu belum lama ini
di kabupaten bogor tepatnya di daerah kecamatan lewiliang ada Sekolah dasar
roboh dan lambat gerakan dari pemkab terhadap penanganan itu hingga teman-teman
BEM se-Bogor akan melakukan Audiensi dengan dinas terkait, dalam hal ini
seharusnya ada pengawasan kita ketahui ada supervisi baik dari sekolah maupun
dinas lalu jika permasalahanya selain dari bangunan yang memang konstruksinya
kurang baik, letak geografisnyaataukah memang cuaca yang buruk. Sehingga kita
menjadi lebih penasaran baik fisik maupun nonfisik yang dibangun di Indonesia
seperti tidak serius saja.
Terlihat pula arus globalisasi dan modernisme yang
merasuk pada diri anak bangsa, menjadi satu gaya hidup yang menyimpang dari
nilai-nilai luhur yang dulu tergambar dari kehidupan bermasyarakat kita. Sehingga
menghasilkam pribadi anak bangsa yang malas dan ingin hidup glamor karena tidak
mendapatkan pembelajaran yang mentransfer nilai tapi hanya mentransfer
pengetahuan. Artinya cita-cita pendidikan nasional yang di bawa oleh Bapak Pendidikan
Indonesia yaitu Ki Hadjar Dewantara ialah “Hakikat
pendidikan adalah sebagai usaha untuk menginternalisasikan nilai-nilai budaya
kedalam diri anak, sehingga menjadi manusai yang utuh baik jiwa maupun
rohaninya”. Seperti yang penulis dapatkan pada seminar pendidikan dengan
tema “Menggali Hakikat Pembelajaran Melalui Falsafah Pendidikan Ki Hadjar
Dewantara”. Yaitu “Dengan problem pembelajaran yang hasil belajarnya belum
mampu berfungsi menunjang tumbuhnya warga negara yang berkarakter, maka guru
sebagai pemimpin harus bertindak Tutwuri
handayani, ing madya mangun karsa dan ing ngarso sung tuladha yaitu :
mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh, berada ditengah memberi
semanagat, berada di depan menjadi tauladan. Dan pembelajaran bukan hanya alih
ilmu pengetahuan saja atau transfer of knowledge,
tetapi sekaligus pendidikan juga sebagai transformasi nilai (transfer of
value) yang di utarakan oleh Dr. Entis Sutisna, M.Pd. beliau adalah Wakil Dekan
I Bidang Akademik di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan.
Dengan kata lain pendidikan adalah pembentukan karakter manusia agar menjadi
sebenar-benarnya manusia.
Alam pendidikan yang biasa kita hidupi baik
keluarga, sekolah, masyarakat. Dengan kebijakan pemerintah yang mengambil
tindakan mengGlobalkan Indonesia dengan ikut serta dalam MEA (Masyarakat
Ekonomi ASEAN) pada awal Januari tahun 2016 memaksa untuk rakyat bersaing
dengan warga asing, pemerintah seperti tanpa menilai sejauh manakah kesiapan
dari warga negeranya. Akhirnya yang terlihat adalah segala yang dikenakan bersasal
dari Negeri orang walau kita tidak menafikan ada saja produk Indonesia yang
menggelobal bahkan banyak kisruh tentang TKA (tenaga kerja asing) asal cina
yang illegallah inilah itulah kembali lagi bagaimana bisa lolos dari pengawasan.
Problematik-peroblematik yang terjadi seakan menggiring masyarakat Indonesia
kearah manusia yang pahamnya adalah konsumerisme. Artinya dalam hal ini masyarakat Indonesia
yang kaya raya dalam tanda petik menjadi pribadi yang konsumtif sehingga timbul
gejala sosial yang haus akan kebutuhan sekunder mungkin saja juga kebutuhan tersier
sebagai contoh banyak orang yang belum mempunyai rumah sebagai kebutuhan primer
(sandang, pangan, papan), tapi memiliki mobil dan hal-hal yang sekunder bahkan
ada yang lebih baik tidak makan asal kuota pada gawainya terisi. Belum lagi
kita pertimbangkan kembali investasi-investasi asing yang menggurita di Negeri
ini seperti menghardik rakyat kecil baik dari segi hak asasi maupun lain hal.
“Indonesia Haruslah Melakasanakan Sistem Pendidikan
yang terarah dan Komperhensif”
Maka Sebagai bangsa yang besar kita perlu merefleksi
dan bagaimana seharusnya pendidikan Indonesia melahirkan manusia indoneisa yang
cerdas, sebaliknya menjadi pertanyaan cerdas yang seperti apakah seharusnya masyarakat
Indonesia. Sistem pendidikan Indonesia wajib sifatnya dalam membentuk pribadi
bangsa yang beridentitas dan mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Prof.
H.A.R Tilaar guru besar UNJ dalam Bukunya Pedagogik Teoritis Untuk Indonesia
watak dari seorang mansuia Indonesia hauslah:
1.
Manusia cerdas
secara Intelektual
2.
Cerdas di dalam
bidang sosial,
3.
Manusia cerdas
secara ekonomi,
4.
Kecerdasan
sebagai warga Negara Indonesia,
5.
Kecerdasan yang
dimiliki oleh jasmani yang sehat,
6.
Kecerdasan
agamis.
Manusia cerdas secara Intelektual adalah manusai
yang dikaruniai tuahan akal dan budi dan mampu mempergunakan keduanya tidak
hanya salah satu, sehingga mampu menjadi manusia cerdas yang Indonesia. bukan
cerdas seperi manusia barat yang terjebak dalam intelektualisme yang mampu
melahirkan kebudayaan yang maju secara
ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi tidak melahirkan manusia yang memiliki
nilai budi luhur sehingga menjadikan peperanagan dan kahancuran manusia dan
kebudayaannya sendiri, maka perlu sekali keseimbangan antara akal dan budi
sehingga pendidikan Indonesia haruslah menghasilkan manusia yang mengerti akan
hak-hak manusia lainya dan bermanfaat bagi nusa dan bangsa.
Cerdas di dalam bidang sosial ialah seperti dasar Negara
kita yang jika diperas dari pancasila ke trisila dan berakhir ekasila yang
diartikan oleh Bung Karno adalah “Gotong Royong”. Era modern ini penghidupan
nilai gotong royong perlu sekali, mengingat anak bangsa yang mulai teracun
paham individualisme, karena bangsa ini tidak akan menjadi maju jika bukan
karena salah satunya semangat gotong royong. Prinsip gotong royong adalah
prinsip musyawarah, saling melengkapi, saling menunjang dan menyepakati sesuatu
demi kepentiingan bersama.
Manusia cerdas secara ekonomi adalah manusia yang tentunya
membutuhkan kecerdasan secara intelektual dan sosial sehingga mampu
mengeksploitasi sumber daya alamnya dan menjadi seorang yang memiliki
kepercayaan diri untuk berdiri sendiri bahkan membantu orang lain.
Kecerdasan sebagai warga Negara ialah seorang warga Negara
yang merdeka artinya para warga Negara yang mempunyai identitas masing-masing namun
bekerjasama untuk kemakmuran bersama.
Kecerdasan yang dimiliki oleh jasmani yang sehat,
jelas dalam kata-kata yang biasa kita dengar didalam tubuh yang sehat terdapat
jiwa yang kuat artinya perlu jasmani yang kuat dan terolah untuk menjadi
manusia Indonesia yang memiliki segudang kekayaan alam. Kecerdasan dalam
mengolah kesehatan jasmani akan menuju pada memanfaatkan kearifan lokal serta
bahan-bahan alam Indonesia yang menunjang kesehatan. Jika sehat jasmani akan
mampu mendongkrak kecerdasan intelektual dan lainya.
Kecerdasan agamis adalah kecerdasan yang bertumpu
pada toleransi. Indonesia adalah Negara yang gemah ripah loh jinawi, adil
makmur seharusnya ini tidak boleh dinodai oleh egoisme salah satu agama, maka
perlu sekali internalisasi nilai-nilai bertoleransi dalam kehidupan
bermasyarakat dan mengedepankan komunikasi sehingga menghidupkan harmoni dalam Negeri
ini, sehingga benar-benar hidup nilai luhur BHINEKA TUNGGAL IKA.
Kecerdasan-kecerdasan yang telah dipaparkan di atas
menurut Prof. H.A.R Tilaar dalam bukunya haruslah benar-benar di hidupkan dalam
dunia pendidikan Indonesia yang tentu saja bukan hanya kepada pendidikan sekolah
tapi keseluruh dunia pendidikan baik keluarga, sekolah, masyarakat hingga Negara
dan global. Pembangunan nasional hanya dapat terlaksana jika ditopang oleh pendidikan nasional,
pembangunan nasional adalah pembangunan yang membangun bangsa Indonesia dan
manusia Indonesia yang dimana pelaksananya adalah manusia Indonesia“, dari Indonesia
oleh Indonesia untuk Indonesia. Sehingga mampu menciptakan kemanusian,
persatuan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indoneisa serta menuju
masyarakat sejahtera.
“Pertumbuhan Penduduk
jika tidak disertai dengan kualitas pendidikan yang memadai maka hasilnya
adalah pengangguran”
Prof. H.A.R Tilaar
(2015;78)
1 Komentar
Keren, sangat informatif.
BalasHapusLanjutkan dwi.👍