September hitam; Bulan Penuh Nestapa HAM

 

September hitam; Bulan Penuh Nestapa HAM

 
sumber: beranda pers

26 September 2021, mahasiswa Universitas Pakuan melaksanakan aksi simbolik di depan Tugu Kujang Kota Bogor. Dalam aksinya “Mahasiswa Ajak Rakyat Hidup” di bulan September yang menjadi sebuah peringatan besar tentang peradilan kemanusiaan.

 

Munjin Sulaiman sebagai Koordinator Lapangan menjelaskan bahwa dalam momen ini menjadi waktu yang tepat untuk mengingatkan masayarakat yang tertidur. “Disini kita sebagai mahasiswa sebagai penjembatan untuk mencerahkan kepada masyarakat bahwasannya kebebasan berekspresi itu benar ada” ujar Munjin.

Aksi ini menjadi ajang refleksi bagi mereka sebagai mahasiswa untuk tetap sadar akan tugas dan perannya. Dengan menyuarakan berdasarkan pasal 7 statuta roma yang diadopsi pada pasal 9 uu no.26 tahun 2000 mereka menyampaikan terdapat kekeliruan bahwa yang diadili hari ini “directed against any civilian population” atau yang diihat hanya ada aktor lapangan saja yang diadili dan tidak diadilinya aktor intelektual di belakang.

Seperti Bulan lain dalam kalender Masehi, September menyimpan berbagai macam cerita dan pengalaman sejarah tertentu untuk Indonesia. Peristiwa-peristiwa ini dikenang hingga saat ini karena diduga memiliki trauma yang cukup mendalam hingga disebut sebagai peristiwa “September Hitam”.

Peristiwa-peristiwa non kemanusiaan dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang terjadi sampai saat ini, peristiwa tersebut belum juga diselesaikan oleh negara secara berkeadilan dan mengedepankan prinsip-prinsip HAM yang menjunjung tinggi martabat korban. Meskipun, kasus Munir dan Tanjung Priok sudah terdapat mekanisme peradilannya, tetapi pengungkapan kebenaran dan juga akses pemulihan kepada korban masih absen untuk dilakukan oleh negara.

Banyak rentetan kejadian pelanggaran HAM yang terlah di himpun oleh Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Seperti; Pembunuhan Munir Said Thalib – 7 September 2004, Tragedi Tanjung Priok – 12 September 1984, Tragedi Semanggi II, 24 September 1999, Reformasi Dikorupsi – 24 September 2019, Tragedi 1965 – 1966.

Sebut saja aksi nasional yang digerakan oleh para mahasiswa terjadi pada 24 September yang dimulai sejak 23 desember 2019 ini yang dilancarkan di pelbagai kota besar. Aksi represif dari aparatur negara dengan menembakkan gas air mata, meriam air bahkan peluru karet. Di Jakarta sendiri banyak ditemukan selongsong gas air mata kadaluarsa. Tak hanya itu, para demonstran diburu hingga ke dalam rumah makan, stasiun, dan rumah ibadah.

Atau aksi Nasional pada Kasus Semanggi II terjadi pada tanggal 24-28 September 1999. Aksi-aksi mahasiswa menentang  RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan tuntutan mencabut dwi fungsi ABRI. Peristiwa ini juga terjadi di beberapa derah seperti Lampung, Medan dan beberapa kota lainnya. Aksi-aksi tersebut mendapat represi oleh ABRI (TNI)  sehingga mengakibatkan jatuh korban antara lain, Yap Yun Hap (FT UI), Zainal Abidin, Teja Sukmana, M Nuh Ichsan, Salim Jumadoi, Fadly, Deny Julian, Yusuf Rizal (UNILA), Saidatul Fitria dan Meyer Ardiansyah (IBA Palembang). Tim Relawan Kemanusiaan mencatat 11 orang meninggal dan luka-luka 217 orang dalam peristiwa tersebut.

Pada tanggal 24 September 1999 sebuah peristiwa berdarah kembali terjadi. Tragedi yang disebabkan oleh ketidak setujuan masyarakat terhadap keputusan DPR atas disahkannya UU PKB ini menimbulkan pertikaian antara mahasiswa dan juga Tentara Nasional Indonesia. Demonstrasi atas penolakan di berbagai daerah di Indonesia terjadi karena masyarakat menganggap RUU itu dibuat sebagai sarana menguatkan dominasi militer di Indonesia. Tragedi kelam ini menelah sedikitnya 11 orang meninggal, dan 217 orang luka-luka. Salah seorang korban yang secara nyata meninggal ditembak adalah Yap Yun Hap, seorang mahasiswa UI yang tergeletak tak bernyawa di depan Universitas Atma Jawa di malam harinya. Mengutip dari laman BBC menyebutkan bahwa kasus tersebut termasuk dalam pelanggaran HAM berat dengan keterlibatan 50 orang atas penembakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.

Sebenarnya masih banyak lagi kisah kelam mengundang tangis yang tersimpan di bulan September. Sebut saja G 30 S, terbunuhnya Aktivis HAM Munir, dan kerusuhan Tahun 65. Peristiwa ini bukan hanya sebuah kenangan, namun pembelajaran untuk semua orang, baik pemerintah maupun masyarakat bahwa dalam menegakkan keadilan, tegakkan juga perlindungan HAM dan kemanusiaan.

Presiden Mahasiswa Univeritas Pakuan Arif Bustanudin Aziz berharap dengan diselenggarakan aksi simbolik September Hitam ini mampu memberikan pencerdasan kepada mahasiswa dan juga masyarakat untuk didengarkan oleh wakil-wakil rakyat.

Cukup di masa lalu kita terluka, dan berjanji untuk tidak mengulanginya. September Hitam tetap ada, sebagai pengingat kita bahwa sesama manusia harus saling memanusiakan satu sama lain.

 



Posting Komentar

0 Komentar